Kamis, 18 Desember 2008

Bandar Lampung Tenggelam

18 Desember 2008

Aku sedikit kesal sore ini, hujan deras yang tidak berhenti mengguyur kampusku disertai gemuruh yang membuat jantung ini dag-dig-dug dan salah seorang temanku ketakutan hingga membuatku kerepotan, jalanan yang macet, sepertinya angkot itu merayap dengan perasaan enggan. Bau asap knalpot, tangis anak kecil yang kepanasan dan tak nyaman, ditambah asap rokok dari supir dan kernet angkot yang tidak tahu sopan santun. Huff, semakin mendung saja wajahku, bisa kutebak lebih mendung dari langit di luar sana. Aku kesulitan memandang keluar jendela, cuaca dingin membuat jendela angkot itu berkabut, aku sempat linglung dengan arah yang kutuju.

Sudah sampai mana ini? Beberapa kali penumpang di hadapanku bertanya. Siapa yang tahu atau mau repot-repot memberi tahu orang bawel sepertimu? Pikirku nyinyir. Huff, entah keberapa ratus kalinya aku menghela nafas berat.. Aku akan sampai rumah menjelang malam, tebak hatiku. Setelah sedikit terkantuk-kantuk, aku dan penumpang lain menyadari kami mulai mendekati daerah RSUAM atau biasa disebut ‘ambon’. Lalu muncul selentingan yang menciutkan hati dan otak kecilku, “Banjir besar di depan RS. Setinggi dada orang dewasa, mobil tidak bisa lewat.’ Aku mencelos… Astaghfirullah… Wah, aku jadi sedikit takut… Apa iya? Lalu bagaimana cara kami pulang?

Angkot yang kutumpangi memilih jalan memutar seperti yg dilakukan hampir seluruh kendaraan di jalan tersebut. Kendaraan yg menuju Tanjung Karang dialihkan. Jalan tertutup air, jika ingin selamat jangan nekat. Aku memberanikan diri melongok ke celah jendela yg sedikit terbuka, dari posisi angkot yg berada di badan jalan yg agak lebih tinggi, aku melihat ke aras pertigaan RSUAM. Ya Allah… Allah Maha Besar… Sungguh, DIA Maha Kuasa atas segala sesuatu… Aku merasa melihat danau di tempat yg selalu aku lalui setiap berangkat/pulang kuliah… Air menggenang setinggi dada orang dewasa, beberapa kendaraan terjebak banjir dan macet. Aku merinding, berkali-kali kusebut nama-NYA di hatiku… Siapa lagi yg mampu menolong di saat seperti ini kecuali DIA yg memiliki dunia ini?

Semua penumpang diturunkan di ‘ambon’. Sebagian bertanya, “Mau pulang lewat mana ini?”.. Aku hanya terdiam, otakku berputar cepat.. Rumahku bisa dicapai dengan dua kali berpindah angkot dari tempat ini, namun entah mengapa hati ini diliputi pertanyaan besar. Lima menit sebelum aku tahu terjadi banjir besar itu, mama mengirimiku pesan singkat. “Sayang, ada di mana? Pulang jam berapa?”. Pesan yg sederhana dalam makna dan kata-kata andai saja peristiwa besar ini tidak terjadi, pesan yg biasa mama kirim untukku setiap kali aku pulang lewat pukul lima sore. Ada apa dengan rumahku???

Aku berjalan kaki sejak diturunkan oleh angkot yg kunaiki, hampir seluruh ruas jalan macet, orang-orang berceloteh, mengeluh, ketakutan, khawatir, aku mendengar suara-suara sumbang bernyanyi tentang banjir besar yang menenggelamkan banyak rumah, tentang angkot yang tidak bisa lewat, ibu-ibu tua yg bingung akan pulang lewat mana. Setelah berjalan hampir 300m, aku mendapati angkot lain, supirnya berkata “Cuma bisa sampai dinas sosial, mba. Gk bisa lebih, macet. Tadi kami ngangkut penumpang juga cuma sampe sana. Gk ada angkot,mba. Nanti kalo sudah sampe sana, naik ojek aja.” Hatiku kembali mencelos, Dinas Sosial?? Berapa kilometer lagi lokasi itu dari rumahku?? Aku tidak tahu… Yang kutahu, jarak itu mampu membuat kakiku bengkak sebesar singkong raksasa…

Dari supir dan kernet angkot itulah aku mendengar cerita, daerah Pasir Gintung, Lebak Budi, Garuda, RSUAM, dan sekitarnya mengalami banjir besar. Pasir Gintung dan Lebak Budi yg paling parah, rumah hanyut, dsb… aku terdiam. Musibah ini, tegurankah? Atau cobaan? Aku tidak tahu… Ilmu yang kumiliki masih sangat dangkal… Kemudian aku turun… Yah, hujan gerimis yg belum berhenti, diwarnai bising klakson kendaraan, asap knalpot, wajah kebingungan orang-orang, pertanyaan yg melewati telingaku seperti desir angin… Aku berjalan dalam diam… aku tidak tahu separah apa keadaan di daerah yg katanya terkena banjir besar, tapi ada suara dari lipatan otakku, seperti sebuah gambaran miris yg kukutuk karena muncul secara mengerikan… Aku teringat tsunami yg melanda NAD beberapa tahun silam… Bodoh! Aku mengutuk diriku sendiri. Mengapa terbersit hal sebodoh itu? Harusnya aku mendoakan saudara-saudaraku yg tertimpa musibah agar diberi kekuatan dan kesabaran, bukan berkhayal yg tidak-tidak. Tiba-tiba aku kembali teringat rumah, mama dan adik-adikku?? Bagaimana keadaan mereka?? Ingatanku bergerak ke dua tahun yg lalu… Saat rumahku masih di bawah naungan 13 pohon melinjo, saat banjir memasuki rumah kami sampai setinggi lututku… Aku bergidik, mengingat raut ketakutan adik-adikku, wajah cemas dan kesigapan mama, kebingunganku mencari pertolongan… Waktu itu, hanya rumah kami yg terkena banjir… Rumah terpencil, yg tidak pernah menarik hati siapapun untuk meliriknya, aku bergetar hebat dalam kediaman perjalananku… Ya Allah, hanya Engkaulah yg mampu melindungi keluarga hamba… Keselamatan mereka hamba pasrahkan di tanganMu…

Aku terus berjalan dalam kesunyian pikiranku… Aku enggan berpikir banyak, enggan membiarkan pikiran buruk membayangiku… Sampai akhirnya, setelah berjalan sekitar 20menit (entah berapa ratus meter, dari dinas sosial di ratulangi sampai pertigaan Gedong Air). Sebuah angkot berhenti, “Kemiling, mba!” Teriak sang supir, sukacita kusambut panggilannya. Aku masih terdiam, sepanjang jalan kulihat lampu padam. Aku diam-diam menunggu kontak dari rumah, tapi handphone-ku senyap. Akhirnya aku sampai di depan gang rumahku, hujan masih belum berhenti. Aku berjalan cepat, suasana tampak tenang, tidak ada tanda-tanda air yg meluap. Aku memasuki halaman rumah yang tampak gelap, saat itu aku menyadari, waktu maghrib baru saja tiba. Kuucapkan salam, “Assalammualaikum..” Leganya hati ini saat kudengar balasan salam, adikku yg paling kecil membuka pintu, dengan polos ia bertanya “Beli apa, kak?” Yah, ia selau menanyakan kalau-kalau aku membawa makanan kecil sebagai oleh-oleh. Aku berkata tidak ada yg kubawa.

Ritual setelah sampai rumah yg seperti biasa, aku tidak lagi memikirkan banjir. Mama hanya menanggapi biasa saat kuceritakan tentang berita banjir yg kudengar, jauhnya perjalanan yg kutempuh dengan berjalan kaki pun tidak terlalu dimengerti olehnya, faktor lelah setelah pulang bekerja, dan minimnya pengetahuan tentang daerah yg kulalui, bisa kumaklumi. Aku sengaja tidur lebih awal, setengah 8 aku tertidur di depan TV, aku berencana mengerjakan tugas saat aku terbangun pukul 10/11 malam. Mama membiarkan aku tertidur pulas.

Pukul setengah 10 aku dikejutkan suara mama yg cemas “Ya Allah…” Aku langsung terduduk, khawatir terjadi sesuatu pada beliau, tapi mataku terpaku pada layar TV di hadapanku. Hatiku mencelos, rasa mengantuk itu hilang, aku merinding… Siaran berita mengenai banjir besar itu begitu mengerikan… Aku tersentak, teringat beberapa kenalan dan saudara yg berada di daerah yg dilanda banjir… sontak kuraih telepon genggamku, kuhubungi mereka satu persatu, Alhamdulillah semua baik-baik saja, posisi mereka yg cukup tinggi membuat mereka tidak terkena banjir. Aku sedikit bernafas lega. Sembari melihat berita, anganku berlari ke rumahku yg dulu… Ya, rumah itu pasti terendam banjir,perkiraanku tidak meleset, mama sempat melihatnya sepulang kerja tadi… Kami bersyukur, Allah sungguh bijaksana, tidak terkira kasih sayang yg IA limpahkan untukku dan keluargaku, indahnya setiap jalan yg IA pilihkan untuk kami, begitu megahnya setiap pintu yg IA buka untukku… Jikalau aku masih tinggal di tempat itu… Aku merinding… Yah, kesulitan dan ketakutan itu terbayang di pelupuk mataku… Terimakasih, Allah… Engkaulah yg terhebat yg hamba miliki, Engkaulah yg paling menyayangi hamba, Engkaulah segalanya… Segala puji bagi Engkau, Tuhan Semesta Alam…

Cerita ini belum berakhir… Aku tahu, masih banyak rahasia indah yg IA simpan untukku, terselip di antara duka dan kesakitan yg kurasakan, tersebunyi di antara onak duri mawar yg coba kuraih… Kasih sayang tak terbatas, hanya untuk hambaNYa yg mau dan mampu menunggu bingkisan terindah dari surga…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar